Bagaimana Islam memandang kaum wanita?
Dalam banyak ayat Al Quran, Allah U menerangkan persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, yang di sisi
lain Allah juga menetapkan kewajiban yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan.
Hak mereka untuk masuk surga sama dengan laki-laki,
sebagaimana janji Allah I kepada laki-laki yang ingkar kepada-Nya untuk merasakan azab akhirat. Hak
wanita untuk mendapat pahala yang sama dengan lapangan pekerjaan yang berbeda
sesuai dengan karakter kewanitaannya, yang secara eksplisit diterangkan oleh
Allah dan Rasul-Nya r yang mulia, juga didasari hikmah yang sampai akhir zaman akan kita temukan
jika kita berupaya untuk terus mencari bukti-bukti tersebut.
Dalam Al Quran, Allah I menempatkan satu surat khusus yang secara umum membahas tentang hukum
mengenai wanita dalam Islam
, juga hukum dalam permasalahan keluarga dan masyarakat yang melibatkan unsur wanita.
, juga hukum dalam permasalahan keluarga dan masyarakat yang melibatkan unsur wanita.
Pada ayat 22-23 Allah U menyebutkan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi (mahram). Secara zhahir,
Allah membatasi ‘ruang gerak’ laki-laki untuk meminang dan menikahi
wanita-wanita tersebut. Selain secara isyarat, ayat ini mengandung hukum yang
melamar adalah laki-laki, ayat tersebut juga mengangkat derajat kaum wanita
dengan cara memasukkan golongan wanita tersebut ke dalam lingkaran mahram yang
secara tegas Allah larang untuk dinikahi. Juga wujud kepedulian Islam dalam
menghormati perasaan wanita dalam kehidupan rumah tangga.
Kalimat وأن تجمعوا بين الأختين dalam ayat tersebut berkaitan erat dengan Hadits Rasulullah r :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَة َ tقَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ
الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Janganlah menikahi perempuan dengan
bibinya sekaligus (baik bibi dari saudara ayah atau ibu)”. (HR. Muslim).
Di sini, Islam memberikan kepedulian bagi keharmonisan sebuah keluarga besar. Yaitu larangan seorang laki-laki menikah dengan wanita, kemudian pada waktu yang bersamaan ia menikah juga dengan saudara perempuannya atau bibinya, sebagai jalan untuk menghindari perselisihan dan putusnya hubungan keluarga di antara wanita tadi.
Diskriminasi terhadap kaum wanita yang terjadi pada
masa jahiliyah, Allah gambarkan U secara eksplisit dalam Al Quran. Yang jika hal itu terjadi pada masa
sekarang, siapapun yang melihat akan ramai-ramai mengutuknya.
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata”. (An-Nisa : 19).
Ibnu Abbas t mengatakan:
“Apabila seseorang meninggal dunia, maka ahli warisnya (termasuk anak
tertuanya) memiliki hak untuk menikahi istrinya. Atau menikahkan wanita tadi
untuk orang lain. Atau laki-laki melemparkan baju kepada wanita tersebut, maka
ia pun berhak menikahi wanita itu”. (Ahkamul Quran; Ibnul Arabi).
Bahkan sikap pelecehan
terhadap wanita juga dirasakan kepada wanita sejak mereka dilahirkan,
“Dan apabila seseorang dari mereka
diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah wajahnya
dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya
berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak itu dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah?
Ketahuilah, betapa buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)
“Dan ketika anak perempuan yang
dikubur hidup-hidup ditanya, atas dosa apakah dia dibunuh.” (At-Takwir: 8-9)
Mengapa tekstual ayat menyebutkan Arab (jahiliyah)? Karena Al-Quran
turun di negeri Arab. Karena Rasulullah r diutus dari kalangan bangsa Arab sebagai miniatur kehidupan
setelahnya. Artinya, sebaik-baik pendidikan adalah yang dicontohkan oleh
Rasulullah r, namun Allah tetap memunculkan lakon tandingnya. Sebagai contoh,
Abu Jahal, Abu Lahab dan istrinya (Ummu Jamil binti Harb). Sebaik-baik
uswah, adalah apa yang Rasulullah contohkan, namun Allah tetap berikan
permisalan wanita-wanita keji yang karakternya tetap Allah pelihara hingga hari
kiamat sebagai ibrah bagi orang-orang setelahnya; dengan karakter yang sama, dengan
pemeran yang berbeda. Sebagaimana Allah munculkan pemeran laki-laki keji Firaun
dengan istri yang shalihah Asiyah, dan laki-laki yang mulia yang
Allah utus menjadi Nabi, Luth u dengan istrinya
yang durhaka. (At-Tashwir al-Fanniy fil Quran; Sayyid Quthb)
2. Mengapa (masih) ada diskriminasi
dalam hak waris?
Muncul diskursus mengenai jumlah bilangan dalam hak waris bagi
laki-laki dan perempuan yang dianggap sudah tidak relevan untuk diterapkan pada
masa sekarang. Kalaupun tak ingin dikatakan sebagai satu bentuk pengingkaran
terhadap ayat Al Quran.
Dalam Surat An-Nisa ayat 11 dan 12, Allah U menetapkan
bilangan yang sifatnya qath’i (baku), dan tidak bisa ditawar-tawar atau
dirubah-rubah mengikuti perkembangan zaman, dan perubahan karakter suatu
teritorial negara. Yaitu perbandingan 1 bagi laki-laki dan ½ bagi wanita. Sebut
saja Indonesia, di beberapa daerah, fenomena “wanita bekerja dan laki-laki hanya
ongkang-ongkang kaki di warung kopi” kerap kita temukan. Namun apakah hal itu
bisa merubah bilangan 1 : 2 dalam
pembagian harta waris?
Sebab munculnya perbandingan itu bukan karena kondisi masyarakat
Arab pada saat ayat turun. Di mana laki-laki yang bekerja, sedangkan perempuan bekerja
di rumah. Namun bilangan itu seperti jumlah iddah* & quru** atau sampai melahirkan anak dalam
kandungannya, bilangan yang sudah paten. Dengan hikmah yang akan terus-menerus
Allah tunjukkan. Ilustrasi hikmah itu bisa kita angkat dalam masalah kewajiban
mahar bagi laki-laki yang harus diberikan kepada istrinya. Jika kita memiliki 1
anak laki dan 1 anak perempuan. Pada saatnya, mereka akan mendapat warisan kita
1:2, $200 untuk anak perempuan dan $400 untuk anak laki-laki. Itu sudah menjadi
hak yang sudah Allah tetapkan. Ketika sudah masuk usia pernikahan, sebagai
contoh laki-laki tadi diwajibkan membayar mahar $200 yang akhirnya berkurang
menjadi $200 dari harta warisnya. Sedangkan anak perempuan tadi, kewajiban mahar
dibebankan kepada suaminya. Maka bertambahlah nominal dari harta waris anak
perempuan tadi. Ketika sudah masuk dalam kehidupan rumah tangga, wanita tidak
mendapatkan kewajiban sama sekali untuk mencari nafkah, sedangkan kewajiban
mencari nafkah –sampai hari kiamat- sudah Allah tetapkan bagi kaum laki-laki.
Setelah sebagian rangkaian hak dan kewajiban laki-laki dan wanita
dalam Surat An-Nisa yang sudah Allah U sebutkan, maka
dalam ayat 32 Allah kembali menegaskan untuk tidak merasa cemburu, termarginalkan
dan terpinggirkan sebagai kelas dua. Karena semuanya sudah ditempatkan sesuai maqam
dan posisinya.
“Dan janganlah
kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih
banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa
yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”. (An-Nisa: 32).\
Maka atas dasar ini pula, standar definisi diskriminasi terhadap wanita yang dirumuskan oleh PBB tahun 1979 dalam CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) berikut laporan CGWI, perlu dicermati dari perspektif Syariah
Akhirnya,
segala keputusan adalah milik Allah I.
“Maka demi
Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
(Muhammad r hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An-Nisa: 65).
0 komentar:
Posting Komentar