Menerapkan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) yang merupakan program global untuk kesehatan masyarakat bukanlah perkara mudah. Apalagi di Indonesia yang memiliki kondisi yang tak pernah sama antara daerah satu dengan daerah lainnya.

Menggalakkan PHBS di tengah masyarakat menjadi tantangan tersendiri. Walaupun berbagai program promosi kesehatan telah dirancang dan digagas banyak pihak, tanpa ada kepedulian dari masyarakat sendiri, program promosi kesehatan sulit tercapai secara optimal, bahkan bisa mandek di tengah jalan.

Beratnya tantangan dalam menularkan perilaku hidup sehat kepada lingkungan sekitar misalnya dialami siswa sekolah yang menjadi Dokter Kecil. Program dokter kecil melibatkan siswa sekolah dasar yang diharapkan menjadi agen perubahan menularkan PHBS di sekolah juga lingkungan rumah.

Yulianti, salah seorang Dokter Kecil mengaku tak mudah menularkan kebiasaan cuci tangan pakai sabun (CTPS) sebagai bagian paling sederhana yang penting dari PHBS. Ia pun mendapatkan tantangan untuk membagi ilmu yang didapatkannya dari pelatihan kepada teman sebaya.

"Banyak yang bercanda saat diberi tahu," ungkapnya saat temu media jelang kegiatan penyambutan hari cuci tangan sedunia di Jakarta.

Meski begitu, Yulianti tak patah arang menjalani perannya sebagai Dokter Kecil. Dengan dukungan guru, juga bantuan sabun untuk kebutuhan satu tahun, Yulianti menjadi satu dari 107.756 dokter kecil yang terus aktif mempromosikan kesehatan.

Tantangan juga diakui oleh Eka Hospital mempunyai kepedulian yang sama. Sejak berdiri lima tahun silam, dipayungi program CSR, sejumlah program promosi kesehatan digelar untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di kawasan rumah sakit, yakni BSD City Tangerang Selatan.

"Promosi kesehatan aktif dilakukan dengan mendatangi sekolah, komunitas, masyarakat, juga melaluitalkshow di radio. Berbagai topik diangkat bergantung dokter yang terlibat dalam kegiatan ini. Namun sanitasi lingkungan umumnya menjadi topik yang sering diangkat, untuk membangun kesadaran hidup sehat dan bersih. " kata Andri Eriek Steven, Corporate CSR & Customer Care Director Eka Hospital kepada Kompas Health jelang kegiatan pemecahan rekor MURI kategori CTPS Siswa SD Terbanyak.

Eriek mengatakan, keinginan untuk mengupayakan hidup sehat takkan memberi hasil optimal jika tak ada kepedulian dari berbagai pihak. Terutama masyarakat.

"Banyak masyarakat tidak punya akses kesehatan. Banyak juga yang cuek, tidak peduli. Kepedulian masih menjadi masalah utama dalam promosi kesehatan semacam ini," katanya.

Agar kepedulian terpupuk, satu agenda besar pun menjadi pilihan cara dalam menyambut hari cuci tangan sedunia.

Eka hospital mengagas kegiatan kolaboratif bersama pemerintah Provinsi Banten, Pemda Tangerang Selatan, Kodam Jaya/Jayakarta, didukung PT Unilever Indonesia, dan pihak swasta lainnya. Dengan melakukan gebrakan membawa isu sederhana, yakni CTPS, . harapannnya kepedulian hidup sehat bisa meningkat.

Kegiatan ini melibatkan lebih dari 15.000 siswa SD dan 534 guru dari 267 Sekolah Dasar se-Jabodetabek, berlangsung 28 September 2013 di Lapangan BSD, Tangerang. Kegiatan ini tercatat dalam rekor MURI dalam kategori Cuci Tangan Pakai Sabun Siswa SD Terbanyak.

"Rekor muri ini mengalahkan rekor sebelumnya berjumlah 12.000 peserta. Ini merupakam kegiatan CTPS terbesar yang kami dukunhg selama ini," ungkap Adina Tontey, Senior Brand Manager Lifebouy kepada Kompas Health di sela kegiatan CTPS pemecahan rekor MURI.

Menurut Adina, sejak menjalani program CTPS dimulai 2005 melalui Dokter Kecil dan Gerakan 21 Hari, ditemukan bahwa kesadaran CTPS masyarakat masih rendah. Mengadakan kegiatan CTPS memeringati Global Hand Washing Day, bagi Adina, merupakan momentum supaya semakin terbuka fakta bahwa CTPS bukan hanya bisa mencegah penyakit tapi juga menekan angka kematian balita.

"Angka kematian balita tinggi tertama di Nusa Tenggara Timur (NTT)" ungkapnya.

Membangun desa

Menyadari masih minimnya kepedulian hidup sehat, Adina mengatakan, program promosi kesehatan juga mulai fokus pada daerah terpencil. NTT menjadi pilihannya, dengan masuk ke satu desa, dan memulai pembangunan infrastruktur pendukung PHBS.

Ia meyakini, dengan dibangunnya infrastruktur di satu desa, kegiatan PHBS termasuk CTPS di dalamnya akan lebih optimal.

Karena terbukti, berdasarkan riset di 10 provinsi, kegiatan CTPS menunjukkan kontribusi terhadap peningkatan perubahan perilaku tertama pada siswa SD.

Hasil riset menunjukkan, responden yang melakukan CTPS sebelum makan pagi meningkat 58 persen pada Desember 2011, 72 persen pada Mei 2012 dibandingkan 52 persen pada September 2011. Sedangkan CTPS sebelum makan siang meningkat 78 persen pada Mei 2012 dibandingkan Desember 2011 (75 persen). Sementara CTPS sebelum makan malam meningkat 70 persen pada Mei 2012 dibandingkan Desember 2011 (60 persen). CTPS setelah buang air besar di rumah meningkat 96 persen pada Mei 2012 dibandingkan Desember 2011 (95 persen).

Menurut Adina, meski terjadi peningkatan secara umum di 10 provinsi, setiap daerah memiliki tantangan tersendiri Promosi kesehatan di Jakarta dan kota besar tertunya lebih mudah karena infrastruktur siap, dan mindset juga sudah terbentuk karena sering terpapar iklan dan edukasi lainnya.

Sementara di daerah, tak mudah meyakinkan orang untuk melakukan CTPS dan menjaga kesehatannya agar terhindar dari penyakit. Meski peran Dokter Kecil membantu, namun orangtua belum tentu mau melakukan CTPS misalnya.

"Mindset paling sulit diubah. Selain juga masalah infrastruktur. Di NTT misalnya, mereka bisa mengaplikasikan CTPS namun sumber mata air terbatas, mereka berbagi air dan harus jalan kaki 3 km untuk mendapatkan air, akhirnya air tadah hujan yang digunakan," terangnya.

Menjawab tantangan ini, Adina mengatakan selain membangun satu desa di NTT, mulai 2013 promosi kesehatan terutama CTPS akan melibatkan kaum ibu di posyandu juga PKK. Untuk di daerah, peran agen perubahan dari kalangan perempuan ini tak kalah penting dengan Dokter Kecil. Apalagi, orang daerah dengan bahasa yang sama, bisa menyampaikan pesan lebih baik.

"Dengan melibatkan penyuluh yang berasal dari daerah setempat, masyarakat akan lebih menangkap pesan karena mereka bicara dengan dialek yang sama. Ini lebih efektif ketimbang mendatangkan penyuluh dari kota untuk terjun ke daerah," terangnya.