Konsep diri adalah pandangan kita mengenai siapa diri kita, dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Manusia yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia lainnya tidak mungkin mempunyai kesadaran bahwa dirinya adalah manusia. kita sadar bahwa kita adalah manusia karena orang-orang disekeliling kita menunjukkan kepada kita lewat perilaku verban dan nonverbal mereka bahwa kita manusia. Bahkan kita pun tidak akan pernah menyadari nama kita adalah “Badu” atau si “Mincreung”, bahwa kita adalah lelaki, perrempuan, pintar atau menyenangkan, bila tidak ada orang-orang disekitar kita yang menyebut kita demikian. Melalui komunikasi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita. Anda mencintai diri anda bila anda telah dicintai, anda berpikir anda cerdas bila orang-orang disekitar anda mengaggap anda cerdas, anda merasa anda tampan atau cantik bila orang-orang disekitar anda juga mengatakan demikian. Konsep diri kita yang paling dini umumnya dipengaruhi oleh keluarga, dan orang dekat lainnya disekitar kita, termasuk kerabat. Mereka itulah yang disebut significant others.

 Orang tua kita, atau siapapun yang memelihara kita pertama kalinya, mengatakan kepada kita lewat ucapan dan tindakan mereka bahwa kita baik, bodoh, cerdas nakal, rajin, ganteng, cantik, dan sebagainya. Merekalah yang mengajari kita kata-kata pertama. Hingga derajad tertentu kita bagai kertas putih yang dapat mereka tulisi apa saja atau tanah liat yang dapat mereka bentuk sekehendak mereka. Penddeknya kita adalah “ciptaan” mereka. Sayangnya tidak semua orang tua menyadari hal ini. Seorang ibu, ayah atau kakak boleh jadi mengeluarkan kata-kata kepada anak: “Bodoh!,” Dasar anak nakal!,” “Penakut!,” bila hal itu kerap terjadi sungguh itu akan merusak konsep diri anak yang pada gilirannya akan mereka percayai. Seorang anak mungkin saja cerdas tetapi karena dianggap bodoh, ia akan surut melakukan apa yang ia ingin lakukan, karena ia mengaggap dirinya demikian. Pada gilirannya orang lain akan menganggap dirinya bodoh. Ini lah yang disebut “nubuat yang dipenuhi sendiri” (self-fulfilling prophecy), yakni ramalan yang menjadi kenyataan karena, sadar atau tidak, kita percaya dan mengatakan bahwa ramalan itu akan menyadi kenyataan. Dalam proses menjadi dewasa, kita menerima pesan dari orang-orang disekitar kita mengenai siapa diri kita dan harus menjadi apa kita. Menjelang dewasa, kita menemui kesulitan memisahkan siapa kita dari siapa kita menurut orang lain, dan konsep diri kita memang terkait rumit dengan definisi yang diberikan orang lain kepada kita. Meskipun kita berupaya berperilaku sebagaimana yang diharapkanorang lain, kita tidak pernah secara total memenuhi pengharapan orang lain tersebut. Akan tetapi, ketika kita berupaya berinteraksi dengan mereka, pengharapan, kesan, dan citra mereka tentang kita sangat mempengaruhi konsep diri kita, perilaku kita, dan apa yang kita inginkan. Orang lain itu “mencetak” kita, dan setidaknya kita pun mengasumsikan apa yang orang lain asumsikan mengenai kita. Berdasarkan asumsi–asumsi itu, kita mulai memainkan peran-peran tertentu yang diharapkan orang lain. Bila permainan peran ini menjadi kebiasaan, kita pun menginternalisasikannya. Kita menamakan peran-peran itu kepada diri kita sebagai panduan untuk berperilaku. Kita menjadikannya bagian dari konsep diri kita. Dengan kata lain, kita merupakan cermin bagi satu sama lainnya. Bayangkan saya pada cermin dikamar mandi menunjukkan apakah saya sudah bercukur atau belum. Saya harus melihat pada anda siapa saya. Proses pembentukan konsep diri itu dapat digambarkan secara sederhana. Konsep diri kita tidak pernah terisolasi, melainkan bergantung, pada reaksi dan respon orang lain. Dalam masa pembentukan konsep diri itu, kita sering mengujinya, baik secara sadar ataupun secara tidak sadar. Kita dapat memperkirakan perbedaan konsep diri seseorang dengan memperhatikan kata-kata yang orang ucapkan, kita dapat menduga dari kelas atau golongan mana ia berasal. Sadar akan pentingnya citra diri dimata orang lain, sebagian orang berbicara dengan menggunakan banyak istilah asing, meskipun tatabahasa atau ucapannya keliru yang pada kata sebenarnya juga tersedia pada bahasa Indonesia agar dipandang intelektual dan modern.